Entri Populer

Tuesday 19 April 2016

Rujak Manis yang terlalu manis

Pada suatu hari, pangeran dari negeri antah berantah mengelilingi wilayah kekuasaan tanah perdikan. Setelah sekian lama berada di pulau seberang untuk menimba ilmu, akhirnya setelah ada kesempatan untuk pulang, disempatkan untu melihat-lihat wilayah kekuasaan tanah perdikan.  Di sepanjang perjalanan, hamparan sawah terbentang luas, padi yang mulai menguning, aliran air yang mengalir dengan tenang, dan para petani yang beristirahat di pematang. Sengaja sang pangeran tidak menggunakan pakaian kebesaran, hanya memakai baju seperti pengembara tanpa pengawalan, hal itu sudah biasa di lakukan semenjak kecil dan para pengawal bahkan Ki Gede Arembo percaya akan kemampuan sang pangeran, pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Dan tidak ada tanda-tanda perang dengan negara tetangga, jadi tidak ada yang perlu di khawatirkan. Bahkan kalau ada perampok, bisa berlari ke padukuhan terdekat. Tiap desa sudah di bekali ilmu keprajuritan, setidak-tidaknya bisa menahan sementara sambil menunggu bantuan datang.

   Karena panageran sudah mulai beranjak dewasa, sudah mulai khawatir, meskipun kakak dari pangeran sudah bersuami, tapi kalau pangeran masih belum mendapatkan tambatan hati, masih menjadi beban pikiran dari Ki Gede, Tapi semua diserahkan kepada sang pangeran. Terakhir, pangeran dikenalkan sama seorang putri dari kadipetan dari wilayah barat. Waktu di lihatkan lukisan dari putri, dalam hati pangeran sudah terdapat rasa, tapi masih belum mau menyimpulkan rasa tersebut. Biar waktu yang menjawab. Lukisan itu pun baru diperlihatkan tahun lalu, dan baru tahun ini pangeran berkesempatan untuk bertemu. Setelah mendengar berita dari utusan, kemana saja putri berpergian, ternyata tujuan sama dengan wilayah yang akan dijelajahi pangeran. Jadi hari itu dengan izin dan restu dari raja, pangeran berniat untuk bertemu dengan putri.
Sehari sebelumnya, utusan dari pangeran sudah datang ke kadipaten Rajajowas, bahwa pangeran dari Tanah Perdikan Arembo akan berkunjung untuk menemui putri, tapi pangreran akan datang sendiri tanpa ada pengawalan jadi tidak perlu ada penyambutan. Juga tidak bertemu di keraton Rajajowas. Meskipun agak ada rasa kecewa di hati Adipati Rajajowas, tetapi hal itu dapat di maklumi. Utusan tersebut kembudian kembali, sambil membawa pesan untuk diberikan kepada pangeran.
Malam hari, utusan yang dikirim sudah di tunggu dengan berdebar-debar oleh pangeran, baru ketika wayah sepi bocah, utusan itu datang, dan langsung menghadap ke pangeran. Setelah menceritakan perjalanan dan makan wedang sere dan sepotong jenang, utusan itu menyerahkan lontar dari putri Rajajowas. Dengan tangan bergetar, diterimanya lontar tersebut, setelah dibuka, lontar itu dibaca pelan-pelan, isinya kurang lebih seperti ini  “Duhai kakangmas yang ada di seberang sana, terima kasih atas kunjungannya beberapa saat lalu, meskipun itu lewat perantara Nimas Alfiana, karena kesibukan kita masing-masing. Saat Nimas bilang akan mengenalkan saudara jauhnya kepada ku,aku berusaha untuk bersikap biasa, tidak ingin menyakiti hati Nimas Alfiana, namun sebelumnya aku tanya dulu dari daerah mana asalnya, kemudian setelah aku tahu, kita sama-sama satu wilayah Kerajaan Singhasari, aku mengiyakan karena ada alasan tertentu. Tapi Nimas Alfianan masih belum bisa mengajak pangeran karena masih merantau, nanti kalau ke sini lagi akan di bawakan lukisannya. Entah kenapa rasanya hati ini menjadi berdebar-debar, menunggu melihat wajahmu. Setelah sepasar, sebelum pergantian tahun, Nimas Alfiana datang lagi ke sini. Sambil membawa sesuatu, aku jadi berdebar-debar, tapi kusembunyikan semua. Setelah duduk, Nimas Alfiana dengan wajah sumringah menyerahkan lukisan, masih tergulung, ku terima dengan menahan gejolak, kubuka pelan-pelan dan akhirnya pertama kali ku melihat wajah pangeran ketika mengenakan seragam keprajuritan. Tatapannya tajam, pandangannya jauh kedepan, tegas, tapi meneduhkan. Serasa menusuk ke mataku, turun kehati, mendobrak semua paugeran seorang gadis. Aku tersadar dari lamunan dan angan-angan ketika aku mendengar tertawa yang tertahan dari Nimas Alfiana, karena melihatku melamun, tersenyum sendiri, dan rona pipi ku yang berubah warna merah. Aku cuma bisa menunduk malu, terus lari mengejar Nimas Alfiana, yang sepertinya sadar dia pasti akan kucubit. Setelah berlarian di sekeliling halaman, sambil beristirahat, aku bertanya segala hal tentang kakangmas. Semakin ingin mengenal langsung, semua hal yang diceritakan kepadaku, berbeda dengan laki-laki yang pernah dekat dengan ku, dan ketika hal itu kuceritakan kepada ayahanda, ayah setuju saja, tapi ingin ketemu langsung. Tapi kakangmas masih sibuk, jadi tidak bisa secepatnya ketemu. Hari berganti minggu,bulan, kabar yang aku nanti akhirnya datang juga, Nimas mengatakan kalau pangeran sudah kembali, dan tadi ada utusan yang datang. Hati ini berdebar-debar, tidak sabar untuk bertemu. Tapi kita tidak bisa bertemu di kadepaten, karena aku sedang ada kegiatan di padukuhan sebelah, di seberang bukit, melewati sungai brantas. Aku tunggu kakangmas di depan rumah tabib di dekatnya barak angkatan laut. Aku tunggu saat wayah pasar temawon, semoga utusan yang membawa pesan ini segera bertemu dengan kakangmas, sehingga kakangmas bisa segera beristirahat dan siap untuk bertemu besok, salam hangat Dega Walangaree”.
Selesai membaca lontar tersebut, pangeran segera ke gandok untuk beristirahat, dan sudah izin kepada Ki Gede akan menemui putri dari kadipaten Rajajowas besok pagi, dan tidak perlu di beri pengawalan, cukup berangkat sendiri. Tempat bertemu merupakan wilayah yang cukup jauh, tapi pernah mendengar wilayah tersebut, jadi harus berangkat pagi biar putri tidak menunggu lama. Baru setelah wayah sepi wong pangeran bisa tidur, sambil menggenggam mimpi yang akan berusaha diwujudkan besok.

Pagi hari, waktu ayam berkokok untuk kedua kalinya, seisi rumah telah bangun, termasuk pangeran, setelah bersih-bersih dan menunaikan kewajiban kepada sang Pencipta, pangeran bersiap-siap untuk berangkat. Setelah menyiapkan kuda putihnya, pangeran pun berangkat. Sang pangeran berkuda menyusuri jalan, melewati pematang, jalan desa, pasar, ketika melewati daerah keramaian harus berjalan pelan-pelang mengurangi kecepatan.
Dan akhirnya mendekati rumah seorang tabib, pangeran mulai berjalan pelan-pelan, mendekat. Ketika jarak kurang dari 50 m, dari kejauhan terlihat seorang perempuan duduk dibawah pohon gayam yang rindang, sinar matahari menerobos sela-sela daun dan menerpa wajah putri, putri duduk manis, menunggu dengan tenang, menahan semua gejolak perasaannya, tanpa ada orang yang tahu.
Setelah mengikat kekang kuda di salah satu pohon di dekat rumah tabib, dengan menahan gemetar, sang pangeran menyapa putri yang sedang duduk, sambil menikmati rujak manis yang baru di beli dari pedagang keliling yang ada di sekitar rumah tabib
"Permisi, apa benar saya berhadapan dengan Putri Dega Walangaree dari kadipaten Rajajowas?"tanya pangeran
"Iya benar,apakah saya kenal dengan kisanak?"jawab putri
"Ehm ternyata benar, dari kejahuan sudah terlihat seorang gadis yang sedang duduk sambil menikmati rujak manis, ternyata adalah Putri Dega Walangaree,perkelnalkan nama saya Pangeran Awan dari Tanah Perdikan Arembo, yang selama ini mungkin mengusik malam-malam di relung mimpi putri"
"oh, inikah pangeran yang selalu merantau dan jarang pulang pulang, saya kira sudah lupa jalan pulang, apa lagi janji bertemu kali ini"kata putri sambil tersenyum manis
"Oh tentu aku tidak akan lupa, manakah mungkin aku akan melupakan hari bersejarah ini, hari ini akan menjadi kenangan, atau akan menjadi hari yang paling menyakitkkan" Jawab pangeran sambil tertawa lepas
"Iya, sebelum merasakan pahit, sebaiknya pangeran duduk sambil makan rujak manis, biar pahitnya hilang"
"Baiklah saya duduk terlebih dulu, tapi saya tidak usah beli rujak manis, saya minta rujak manisnya putri saja"
"Loh kenapa,tenang warung rujak manisnya baru buka masih belum habis"
"Tidak apa-apa putri, nanti bila terasa pahit, mungkin senyum putri akan terjatuh di salah satu buah dari rujak manis ini, bisa mengobati rasa pahit ini"
"Haha, manis sekali kata-kata pangeran, terlalu manis di makan sambil makan rujak manis ini, itu kah kata-kata yang pangeran ucapkan pada setiap wanita yang pangeran temui di perantauan?"tanya sang putri
"hahaah, putri bisa saja, pasti putri sudah mendengar cerita ku bukan?ehm sudah lah, kita makan dulu rujak manis ini, nanti keburu sepasukan semut menyerang rujak manis ini"
Dan begitulah awal perjalanan, yang menjadi awal bahtera rumah tangga, siapa mengira rujak manis bisa mempertemukan 2 insan. 

Depok, 19 April 2016

Cap Jempol

Awan Jingga



No comments:

Post a Comment