Setujukah anda dengan Kebiri Kimiawi bagi Pelaku Kekerasan Seksual?
Dalam hukum Indonesia tidak dikenal adanya hukuman kebiri, hukum kebiri mencuat setelah Presiden mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 TENTANG Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Hal ini terjadi karena banyanya kasus kekerasan seksual, bahkan menuru Komnas Perempuan, Indonesia sudah Darurat Kekerasan Seksual sejak tahun 2012. Salah satu pencegahannya yakni dengan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, namun tidak termasuk dalam Prolegnas Prioritas, sehingga perlu di keluarkan peraturan yang dapat memayungi untuk memberantas kekerasan seksual pada perempuan dan anak.
Akhirnya setelah Ratas (Rapat Terbatas) antara KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dengan Presiedn, Presiden memutuskan untuk melakukan penambahan pemberatan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap perempaun dan anak melalui Perpu, Perpu ini berisi tentang pemberatan hukuman yang diklasifikasi, mulai dari pidana penjara 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati. Selain itu di atur juga tambahan mengenai hukuman tambahan berupa kebiri serta pemasangan chip yang mendeteksi keberadaan pelaku pasca di penjara,selain KPAI yang hadir dalam rapat adalah Wapres, Menko PMK, Sesneg, Seskab, Mendagri, Menag, Menkumham, Mendikbud, Menristekdikti, Menkes, Mensos, Mendes, Menpora, Menkominfio, Mendag, Jaksa Agung dan Kapolri, setelah itu keluarlah Perpu No 1 Tahun 2016 TENTANG Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Banyak yang menyikapi dengan keluarnya Perpu No 1 Tahun 2016, ada yang setuju dengan adanya Perpu tersebut dan ada yang tidak setuju. Yang setuju beralasan dengan adanya tambahan hukuman kebiri bisa menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Sedangkan yang tidak setuju menganggap bahwa hukuman kebiri bisa merusak tubuh, bertentangan dengan HAM, dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak untuk melakukan pelaksanan hukuman kebiri karena bertentangan dengan kode etik kedokteran.
Mari kita lihat dari yang Pro dengan Perpu No 1 Tahun 2016
Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sudah di atur dalam UU no 23 Tahun 2002, yakni pada pasal 81 ayat 1 yakni bagi pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan memakasa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan minimal 3 tahun.
Dengan semakin banyaknya kasus kekerasan seksual dan dirasanya perlu perubahan pada UU No 23 tahun 2002, maka di keluarkan UU no 35 Tahun 2014 TENTANG Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan di dalam pasal 81 terdapat penambahan ayat yang memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yakni pada ayat 1 bahwa pelaku kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
Tahun 2016, semakin miris melihat kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, yang kalau dipikir secara logika mana mungkin itu bisa di lakukan pada perempuan dan anak. Dan melihat hukuman yang masih terasa ringan bagi pelaku kekerasan seksual, namun untuk membuat Undang-undang masih diperlukan waktu yang cukup lama, mengingat Indonesia sudah Darurat Kekerasan Seksual, maka presiden mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 ada tambahan hukuman bagi pelaku jika pelaku tersebut adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan lebih dari 1 orang secara bersama-sama, pernah melakukan pidana yang sama, menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selain itu juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Dalam Seminar Pengapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak yang di laksanakan di Graha Gus Dur Kantor DPP PKB tanggal 31 Mei 2016, dari 4 nara sumber, yang setuju adanya tambahan hukuman kebiri dari Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos RI, KPPA, Abdul Malik Haramain M.Si (Anggota FPKB DPR RI sekaligus panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Menurut Malik Haramain, Perpu ini dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat, bukan langsung di kebiri ketika sudah mendapat putusan tetap, juga bukan kebiri total, hanya kebiri kimia. Hukuman tambahan berupa kebiri ini baru bisa dilakukan jika:
1. menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia
2. Sudah dilakukan penilaian (assesment) berupa wawancara klinis dan psikiatri oleh tenaga medis professional di bidang keahliannya.
3. Dilakukan pemeriksaan kondisi fisik yang bersangkutan disesuaikan dengan keluhan dan gejala klinis yang dialami saat sebelum dan sesudah kebiri kimia dilaksanakn untuk memeriksa kadar hormon testosteron bebas dalam darah
4. Sehat secara fisik/kondisi fisik
5. Kadar hormon Testoteron bebas dalam darah pelaku lebih dari 1000 ngr/liter
Mengomentari IDI yang tidak mau melaksanakan tindakan kebiri karena tidak sesuai dengan kode etik dokter, ketika undang-undang sudah mengharuskan dari tenaga medis professional, jika tidak di laksanakan maka dokter bisa melanggar undang-undang, karen hierarkinya undang-undang di atas kode etik kedokteran.
Sedangkan yang kontra dengan Perpu No 1 Tahun 2016
- Perkosaan tidak hanya penetrasi kelamin, tapi bisa menggunakan alat-alat yang berbahaya.
- Problemnya ada di otak, pikiran, mindset dalam memandang perempuan
- Menyerang martabat dan kodrat manusia (basic human's right)
- Efektivitas hukuman kebiri belum jelas, apakah cukup membuat jera
- Reaktif, menakut-nakuti (mimicry), tidak melalui kajian yang mendalam
Yang tidak setuju beranggapan terlalu terburu-buru dalam mengeluarkan perpu, asal copy paste dari negara lain, tidak melalui kebijakan yang lebih mendalam. Juga dengan adanya Perpu ini apakah ada efek jeranya apa tidak?Dan menurut mereka, setelah di kebiri kimia kemudian di kembalikan seperti sedia kala bisa menyebabkan terganggunya hormon dalam tubuh. Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan, hukuman tambahan berupa kebiri tersebut bertentangan dengan konvensi yang sudah di ratifikasi,
Kedua pihak ini satu kata bahwa indonesia bahwa indonesia darurat kekerasan seksual, tapi beda pendapat mengenai tambahan hukuman kebiri. Karena sudah masuk kejahatan luar biasa, tentu di perlukan berbagai upaya yang luar biasa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, setidakntya di mulai dari kita sendiri, bukan hanya jangan sampai orang-orang di sekitar kita menjadi korban tapi jangan sampai menjadikan anak-anak kita menjadi pelakunya
Akhirnya setelah Ratas (Rapat Terbatas) antara KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dengan Presiedn, Presiden memutuskan untuk melakukan penambahan pemberatan terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap perempaun dan anak melalui Perpu, Perpu ini berisi tentang pemberatan hukuman yang diklasifikasi, mulai dari pidana penjara 20 tahun, seumur hidup dan hukuman mati. Selain itu di atur juga tambahan mengenai hukuman tambahan berupa kebiri serta pemasangan chip yang mendeteksi keberadaan pelaku pasca di penjara,selain KPAI yang hadir dalam rapat adalah Wapres, Menko PMK, Sesneg, Seskab, Mendagri, Menag, Menkumham, Mendikbud, Menristekdikti, Menkes, Mensos, Mendes, Menpora, Menkominfio, Mendag, Jaksa Agung dan Kapolri, setelah itu keluarlah Perpu No 1 Tahun 2016 TENTANG Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Banyak yang menyikapi dengan keluarnya Perpu No 1 Tahun 2016, ada yang setuju dengan adanya Perpu tersebut dan ada yang tidak setuju. Yang setuju beralasan dengan adanya tambahan hukuman kebiri bisa menimbulkan efek jera terhadap pelaku. Sedangkan yang tidak setuju menganggap bahwa hukuman kebiri bisa merusak tubuh, bertentangan dengan HAM, dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) menolak untuk melakukan pelaksanan hukuman kebiri karena bertentangan dengan kode etik kedokteran.
Mari kita lihat dari yang Pro dengan Perpu No 1 Tahun 2016
Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sudah di atur dalam UU no 23 Tahun 2002, yakni pada pasal 81 ayat 1 yakni bagi pelaku kekerasan atau ancaman kekerasan memakasa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan minimal 3 tahun.
Dengan semakin banyaknya kasus kekerasan seksual dan dirasanya perlu perubahan pada UU No 23 tahun 2002, maka di keluarkan UU no 35 Tahun 2014 TENTANG Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan di dalam pasal 81 terdapat penambahan ayat yang memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual yakni pada ayat 1 bahwa pelaku kekerasan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun.
Tahun 2016, semakin miris melihat kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, yang kalau dipikir secara logika mana mungkin itu bisa di lakukan pada perempuan dan anak. Dan melihat hukuman yang masih terasa ringan bagi pelaku kekerasan seksual, namun untuk membuat Undang-undang masih diperlukan waktu yang cukup lama, mengingat Indonesia sudah Darurat Kekerasan Seksual, maka presiden mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 ada tambahan hukuman bagi pelaku jika pelaku tersebut adalah orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan lebih dari 1 orang secara bersama-sama, pernah melakukan pidana yang sama, menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Selain itu juga dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, dan dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Dalam Seminar Pengapusan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak yang di laksanakan di Graha Gus Dur Kantor DPP PKB tanggal 31 Mei 2016, dari 4 nara sumber, yang setuju adanya tambahan hukuman kebiri dari Direktur Rehabilitasi Sosial Anak Kemensos RI, KPPA, Abdul Malik Haramain M.Si (Anggota FPKB DPR RI sekaligus panja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual).
Menurut Malik Haramain, Perpu ini dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat, bukan langsung di kebiri ketika sudah mendapat putusan tetap, juga bukan kebiri total, hanya kebiri kimia. Hukuman tambahan berupa kebiri ini baru bisa dilakukan jika:
1. menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia
2. Sudah dilakukan penilaian (assesment) berupa wawancara klinis dan psikiatri oleh tenaga medis professional di bidang keahliannya.
3. Dilakukan pemeriksaan kondisi fisik yang bersangkutan disesuaikan dengan keluhan dan gejala klinis yang dialami saat sebelum dan sesudah kebiri kimia dilaksanakn untuk memeriksa kadar hormon testosteron bebas dalam darah
4. Sehat secara fisik/kondisi fisik
5. Kadar hormon Testoteron bebas dalam darah pelaku lebih dari 1000 ngr/liter
Mengomentari IDI yang tidak mau melaksanakan tindakan kebiri karena tidak sesuai dengan kode etik dokter, ketika undang-undang sudah mengharuskan dari tenaga medis professional, jika tidak di laksanakan maka dokter bisa melanggar undang-undang, karen hierarkinya undang-undang di atas kode etik kedokteran.
Sedangkan yang kontra dengan Perpu No 1 Tahun 2016
- Perkosaan tidak hanya penetrasi kelamin, tapi bisa menggunakan alat-alat yang berbahaya.
- Problemnya ada di otak, pikiran, mindset dalam memandang perempuan
- Menyerang martabat dan kodrat manusia (basic human's right)
- Efektivitas hukuman kebiri belum jelas, apakah cukup membuat jera
- Reaktif, menakut-nakuti (mimicry), tidak melalui kajian yang mendalam
Yang tidak setuju beranggapan terlalu terburu-buru dalam mengeluarkan perpu, asal copy paste dari negara lain, tidak melalui kebijakan yang lebih mendalam. Juga dengan adanya Perpu ini apakah ada efek jeranya apa tidak?Dan menurut mereka, setelah di kebiri kimia kemudian di kembalikan seperti sedia kala bisa menyebabkan terganggunya hormon dalam tubuh. Indonesia juga sudah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan, hukuman tambahan berupa kebiri tersebut bertentangan dengan konvensi yang sudah di ratifikasi,
Kedua pihak ini satu kata bahwa indonesia bahwa indonesia darurat kekerasan seksual, tapi beda pendapat mengenai tambahan hukuman kebiri. Karena sudah masuk kejahatan luar biasa, tentu di perlukan berbagai upaya yang luar biasa untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, setidakntya di mulai dari kita sendiri, bukan hanya jangan sampai orang-orang di sekitar kita menjadi korban tapi jangan sampai menjadikan anak-anak kita menjadi pelakunya
Depok, 13 Juni 2016
Novan RP
No comments:
Post a Comment