Entri Populer

Thursday 5 July 2012

Malang

 
Belajar sejarah dulu y hehe
Aloon-aloon asal kelakon
Pernah dengar ungkapan bijak bahasa Jawa diatas? Alon-alon asal kelakon, artinya perlahan tetapi pasti atau tidak terburu-buru dalam bertindak. Mengingatkan orang agar selalu waspada, nah, itu kalau alon-alon ( pelan-pelan), jika anda cermat, judul diatas bukan alon-alon, tapi aloon-aloon! Beda Jumlah huruf oo, tapi artinya justru sangat berbeda sekali. Aloon-aloon adalah bahasa Belanda, berubah menjadi kata Alun-alun yang artinya lapangan terbuka.
Zaman Hindu-Budha, alun-alun telah dikenal (Kitab Negara Kertagama)  asal usul kata ini dari kepercayaan masyarakat tani yang setiap kali ingin menggunakan tanah untuk bercocok tanam, maka haruslah dibuat upacara minta izin kepada  dewi tanah  dengan jalan membuat sebuah lapangan  tanah sacral yang berbentuk persegi empat  dan  sekarang dikenal masyarakat sebagai alun-alun. Pada Masa kerajaan Mataram, di Alun-alun depan istana secara rutin diperuntukkan rakyat Mataram jika ingin menghadap Penguasa Alun-alun pada masa itu sudah berfungsi sebagai pusat administratif dan sosial budaya bagi penduduk pribumi.
Masyarakat berdatangan ke alun-alun untuk memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman atau melihat unjuk kekuatan berupa peragaan bala prajurit dari penguasa setempat, Fungsi sosial budaya dapat dilihat dari kehidupan masyarakat dalam berinteraksi satu sama lain, apakah dalam perdagangan, pertunjukan hiburan ataupun olah raga. Untuk memenuhi seluruh aktivitas dan kegiatan tersebut alun-alun hanya berupa hamparan lapangan rumput yang memungkinkan berbagai aktivitas dapat dilakukan.
Pada Masa masuknya Agama Islam, seperti di alun-alun Malang, Gedung  Masjid Jami  dibangun di sekitar alun-alun. Alun-alun juga digunakan sebagai tempat kegiatan-kegiatan hari besar Islam termasuk Salat Idul Fitri. Pada jaman pra-kolonial, baik kota pusat kerajaan di pedalaman atau di pesisir dibangun berdasar konsep tata ruang yang sama, yaitu adanya sebuah lapangan luas yang ditengahnya ditanam satu atau dua buah pohon beringin yang disebut Alun-alun, (Santoso,1984). Sistem kaidah yang dipakai orang Jawa disebut Hasta brata dikenal juga dengan ungkapan Kiblat Papat Limo Pancer yaitu keseluruhan ruang dibagi menjadi 4 atau 8 bagian.
Pengelompokan dibuat berdasar padanan hal positif negatif, unsur air di timur, api ditempatkan di Barat. Pusat ruangan dipandang sebagai pusat dunia ( Sartono Kartodirdjo,1987). Nah itulah sebabnya kenapa hampir semua pusat kota di Jawa mempunyai bentuk struktur yang hampir sama, pendopo Bupati, Masjid Jami’, Penjara dan Kantor Residen (Walikota) berada dialun-alun.  Sebelah selatan merupakan daerah sakral dan utara merupakan daerah profan, oleh sebab itu di semua Alun-alun, rumah bupati selalu diletakkan di selatan, kecuali di Malang,  yang ditempatkan sebelah timur menghadap ke selatan, tidak jelas alasannya, mengapa, tapi kemungkinan karena Malang dikenal daerah dengan pertahanan yang kuat maka kepercayaan daerah yang sakral untuk kantor bupati sengaja dirubah, tidak perlu diawasi langsung oleh residen.
Jika benar Alun-alun Malang didirikan tahun 1882 (Kotapraja Malang,1964) maka jelas pembangunan Alun-alun Malang untuk kepentingan Belanda yang menjadikan Alun-alun sebagai pusat kontrol. Hampir semua kegiatan produksi ekonomi terkumpul disana, Belanda sengaja menempatkan kantor bupati berhadapan dengan Assisten Residen, di sebelahnya Masjid Jami’ berhadapan dengan penjara dengan maksud setiap saat Assisten Residen dapat mengontrol kegiatan bupati dan penduduk yang selalu berkumpul di pendopo bupati atau Masjid Jami’. Karena Alun-alun dipandang sebagai pusat kegiatan kota, maka secara tidak langsung pola pemukiman juga menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Pemukiman orang Eropa di sebelah Barat daya (Talun, Tongan, Sawahan), orang Cina di sebelah tenggara (Pecinan), Arab terletak di belakang Masjid (Kauman), dan pribumi di daerah Kebalen, Temenggungan, Jodipan. Sekarang dengan berkembangnya pembangunan kota Malang ke semua arah maka keramaian kota menjadi terpecah.
Nah, kata aloon-aloon telah kita bahas arti, fungsi dan asal usulnya, terus sekarang, kenapa di Malang terdapat dua alun-alun? Bukankah satu sudah cukup? Yah kalau dibilang cukup ya cukup, karena luas tanah dan perkembangan tahun 1900 masih memungkinkan untuk dioptimalkan, terus kalau dibilang tidak cukup, ya tidak cukup, alasannya untuk pertumbuhan Malang kedepan sebagai contoh kota pusat pemerintahan dengan disain tata kota yang baik mempunyai satu syarat yaitu lingkungan yang kondusif, di Malang dirasa tidak memungkinkan lagi digabungkan pusat kota dengan pusat pemerintahan. Pusat kota telah berkembang sedemikian cepat dengan bertumbuhnya pusat ekonomi, hiburan, keagamaan dan social, sedangkan pusat pemerintahan seiring dengan tumbuhnya kota Malang harus segera membangun gedung pusat pemerintahan satu atap ( block office). 
Pada tanggal 26 April 1920 pihak Gemeente (kotapradja) Malang memutuskan untuk membuat daerah pusat pemerintahan baru yang sekarang kita kenal dengan Alun-alun Bunder sesuai dengan bentuk  tanah lapang yang berbentuk bundar. Sebelum tahun 1914 Malang masih merupakan daerah bagian dari Karesidenan Pasuruan dan kekuasaan tertinggi di Malang adalah Assisten Residen yang kantornya di selatan Alun-alun (sekarang kantor Perbendaharaan dan Kas Negara). Setelah kota Malang dinaikkan statusnya menjadi Gemeente (Kotamadya) tanggal 1 April 1914, kota Malang berhak memerintah daerah sendiri dengan dipimpin oleh seorang Burgemeester (Walikota). Jabatan walikota waktu itu dirangkap oleh Asisten Residen sampai tahun 1918, baru tahun 1919 Malang mempunyai Walikota pertama HI Bussemaker

Setelah selesai dibangun alun-alun bundar, Malang masih belum mempunyai kantor pemerintahan yang permanen dan berwibawa. Pada 26 april 1920 dibuat perencanaan perluasan kota yang di dalamnya termasuk pembangunan gedung Balaikota sebagai tempat pemerintahan yang baru. Gagasan perencanaan itu timbul setelah walikota mengadakan sayembara perencanaan Balaikota Malang dengan juri Ir. W. Lemei, Ir. Ph.N. Te Winkel dan Ir. A. Grunberg. Dari 22 peserta lomba, tidak ada satupun yang memenuhi syarat. Maka, pada tanggal 14 Februari 1927 diputuskan oleh dewan kota agar rancangan yang paling baik diadakan perubahan dan segera dilaksanakan pembangunan dengan anggaran F. 287.000. Rancangan yang akhirnya dipakai adalah karya HF Horn dari Semarang dengan motto: Voor de burgers van Malang (untuk warga Malang).
 Pembangunan balaikota dilaksanakan tahun 1927 sampai 1929, dan mulai ditempati September 1929 oleh walikota ke dua Ir. EA Voorneman. Ruang walikota dirancang sendiri oleh C. Citroen dari Surabaya yang sampai sekarang masih terlihat megah. Bangunan yang tetap dipertahankan keasliannya ini menjadi bangunan cagar budaya di Malang yang dirancang bersama-sama para arsitek terkenal di Jawa saat itu.
Nah.. Keinginan untuk mempunyai 2 alun-alun telah kelakon meskipun dengan alon-alon, menurut saya lebih baik alon-alon asal kelakon, tapi kelakonnya dengan hasil yang  perfect dari pada ora alon-alon ora kelakon , cepat tapi tidak sesuai harapan. Tinggal sekarang bagaimana kita memanfaatkan kelakon itu dengan cerdas, bagaimana?

Penulis: Dwi Cahyono, Ketua Yayasan Inggil (
www.inggil.org). Pernah ditulis di Radar Malang

No comments:

Post a Comment